Jumat, 12 April 2019

Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia





1.Mengapa MBS perlu diperkenalkan di Indonesia ?
2.Bagaimana penerapan MBS di Indonesia ?
3.Indentifikasi dan jelaskan landasan hukum penerapan MBS di Indonesia ?
4.Identifikasi butir-butir perbedaan sisdiknas menurut UU No. 2 Thn 1998 dan UU No. 20 Thn. 2003 ?


1.      Karena pada dasarnya MBS merupakan suatu strategi pengelolaan penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang menekankan pada pengerahan dan pendayagunaan sumber internal sekolah dan lingkungannya secara efektif dan efisien sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas dan bermutu.

2.       Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan program nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 50 (1) " Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah" MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dengan maksud agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan sekolah. Dengan demikian tanggungjawab pengelolaan pendidikan bukan hanya oleh pemerintah tapi juga oleh sekolah dan masyarakat dalam rangka mendekatkan pengambilam keputusan ketingkat grassroots (yang paling dekat dengan peserta didik) . Bagaimana Penerapannya di Indonesia? Ada tiga pilar MBS yang dapat dijadikan patokan untuk menilai implementasi MBS yang dilaksanakan oleh sekolah di Indonesia yaitu: Manajemen Sekolah, Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan, dan Peran Serta Masyarakat



-          Manajemen Sekolah 

Penerapan manajemen sekolah pada umumnya sudah dapat diterapkan dengan baik oleh sebagian sekolah terutama sekolah sekolah perkotaan yang sudah memiliki SDM yang memadai baik secara kualifikasi maupun kompetensi. Namun pada sisi lain masih banyak sekolah terutama kepala sekolah belum dapat mengelola sekolahnya dengan baik misalnya dalam hal berkomunikasi dan berkoodinasi dengan semua warga sekolah dan masyarakat. Indikasinya terlihat masih banyak warga sekolah dan masyarakat yang tidak tahu program sekolah dan penggunaan dana sekolah baik yang bersumber dari BOS untuk SD dan SMP maupun dari komite (masyarakat) untuk SMA/SMK. Program sekolah dan penggunaan dana tidak disosialisakan dengan transparan dan akuntabel. Sehingga sering menimbulkan kecurigaan diantara warga sekolah. Sebagai dampaknya guru dan staff serta masyarakat kurang antusias untuk mendukung program sekolah

Dalam hal peningkatan kualitas tenaga pendidik dan kependidikan misalnya masih banyak kepala sekolah yang hanya menunggu bila ada program pelatihan dari pemerintah. Semestinya peningkatan kualitas tenaga pendidik dan kependidikan ini dapat dilakukan oleh sekolah secara mandiri misalnya dengan memberdayakan rekan sejawat (guru, kepala sekolah,dan pengawas sekolah) untuk saling berbagi. Dengan sering diadakannya sharing antar teman sejawat diharapkan akan timbul semangat untuk berinovasi dan berimprovisasi yang akan melahirkan kreatifitas.

-          Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif & Menyenangkan 

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan kominikasi dewasa ini, warga sekolah terutama guru dan siswa akan sangat terbantu dalam mengembangkan dan mengatasi permasalahan pembelajaran. Setiap siswa memiliki minat, bakat dan kemampuan yang berbeda. Hal ini tidak perlu dikhawatirkan karena berbagai metode pembelajaran sangat mudah diperoleh melalui pemanfaatan ICT oleh guru dan siswa. Dalam proses pembelajaran ini tentu saja siswa menjadi pusat perhatian atau pemeran utamanya dan guru menjadi sutradaranya. Untuk mencapai pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan perlu usaha serius , karena dibutuhkan guru yang aktif dan kreatif pula.

-          Peran Serta Masyarakat 

Masyarakat adalah mitra sekolah yang dapat diandalkan. Masyarakat terkait langsung dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah, karena keberadaan sekolah ada di tengah-tengah masyarakat dan menjadi tujuan masyarakat sekitar untuk menuntut ilmu. Sekolah dan masyarakat harus selalu bersinergi untuk mewujudkan outcome sekolah yang berkualitas. Dukungan masyarakat kepada sekolah hendaknya bukan hanya bersifat material tapi juga dukungan moril seperti memberikan rasa aman kepada semua warga sekolah. Memang kepala sekolah harus memiliki kompetensi social yang handal. Disamping itu sekolah bisa dijadikan pusat informasi bagi masyarakat sekitar sekolah. Informasi yang dimaksud adalah informasi yang bersifat umum bukan hanya mengenai siswa tapi juga yang berkenaan dengan pemberdayaan sumber daya yang ada di lingkungan masyarakat. Sekolah dapat menjadi trigger (pemicu) untuk memajukan masyarakat sekitar sekolah. Dengan contoh langsung yang diberikan sekolah biasanya masyarakat akan cepat meniru dan mempraktikkannya apalagi sesuatu yang baru yang dapat memberikan nilai tambah bagi mereka. Masyarakat dapat juga dilibatkan dalam program sekolah khususnya yang menyangkut life skill.

Namun yang masih menjadi persoalan adalah dukungan masyarakat belum optimal baik dalam hal prakarsa dan kontribusi untuk mamajukan sekolah maupun memberikan rasa aman baik pada siswa maupun guru yang mengajar di sekolah. Sebuah harian daerah pernah memberitakan ada guru yang dirampok oleh pelaku yang juga masyarakat sekitar sekolah. Selain itu ada usaha ternak ayam potong yang berdampingan dengan sekolah yang sangat mengganggu proses pembelajaran di sekolah karena bau yang tidak sedap yang berasal dari kotoran ayam tersebut, dan mungkin masih banyak lagi persoalan-persolan lain yang dapat mengganggu kelancaran proses pembelajaran. Memang persoalan ini sangat ruet dan kompleks, tetapi dengan tekad dan komitmen yang kuat antara pihak sekolah, pemerintah, dan masyarakat sebagai sebuah system yang mempunyai maksud yang sama untuk mencapai pendidikan yang berkualitas, maka MBS ini dapat diterapkan dengan baik dan dihantarkan sampai ke tujuan.

3.      Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bagian penjelasan pasal 51 ayat 1, “manajemen berbasis sekolah atau madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah atau madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah atau madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan”. Definisi MBS diuraikan lebih rinci sebagai suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk melakukan redesain terhadap pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan pada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat (Fattah, 2004). MBS atau school based management sendiri merupakan sebuah upaya adaptasi dari paradigma pendidikan baru yang berasaskan desentralisasi. MBS memberikan otoritas pada sekolah untuk mengembangkan prakarsa yang positif untuk kepentingan sekolah. Dalam pelaksanaannya di lapangan, konsep MBS memiliki instrumen kunci yang dikenal dengan nama Komite Sekolah. Tidak hanya itu, menurut Dr JC Tukiman Taruna, seorang pakar pendidikan, implementasi MBS secara ideal mensyaratkan beberapa hal yaitu (1) peningkatan kualitas manajemen sekolah yang terlihat melalui transparansi keuangan, perencanaan partisipatif, dan tanggung-gugat (akuntabilitas), (2) peningkatan pembelajaran melalui PAKEM (pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan), dan (3) peningkatan peran serta masyarakat melalui intensitas kepedulian masyarakat terhadap sekolah (Kusmanto, 2004). DASAR HUKUM Implementasi MBS pada tingkat satuan pendidikan bukan sekedar luapan semangat desentralisasi yang berlebihan. MBS dilaksanakan semata karena berlandaskan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 51 ayat 1, “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah”. Legalisasi pelaksanaan MBS juga termuat dalam peraturan turunan undang-undang sistem pendidikan nasional, yaitu dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 1, “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”. Keberadaan Komite Sekolah sebagai instrumen kunci dalam pelaksanaan MBS juga tertuang dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 2, “Pengambilan keputusan pada satuan pendidikan dasar dan menengah di bidang non-akademik dilakukan oleh komite sekolah atau madrasah yang dihadiri oleh kepala satuan pendidikan”. Sementara Lampiran Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang standar pengelolaan pendidikan memuat secara lebih terperinci tentang (a) perencanaan program, (b) pelaksanaan rencana kerja, (c) pengawasan dan evaluasi, (d) kepemimpinan sekolah atau madrasah, (e) sistem informasi manajemen, dan (f) penilaian khusus.

4.      Jumlah bab dan pasal yang terkandung di dalamnya, UU No. 2 tahun 1989 mempunyai 20 bab dan 59 pasal, sedangkan UU No. 20 tahun 2003 mempunyai 22 bab dan 77 pasal.







Tabel Perbedaan UU No. 2 tahun 1989 dengan UU No. 20 tahun 2003
Perihal
UU No. 2 tahun 1989
UU No. 20 tahun 2003
Jumlah bab dan pasal
20 bab dan 59 pasal
22 bab dan 77 pasal
Fungsi pendidikan nasional
Belum ada fungsi untuk membentukwatak (karakter)peserta didik.
Sudah ada fungsi untuk membentuk watak (karakter) peserta didik.
Jalur pendidikan
Hanya dua jalur pendidikan, yaitu: jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah
Ada tiga jalur pendidikan, yaitu: pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Alokasi dana pendidikan
Belum ada aturan alokasi dana pendidikan dari APBN.
Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). (pasal 49 ayat 1)
Badan hukum pendidikan
Belum ada badan hukum pendidikan.
Sudah ada badan hukum pendidikan, sebagaimana tertuang pada pasal 53 bahwa “penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentukbadan hukum pendidikan
Peran serta masyarakat dalam pendidikan
Hanya sebatas mitra pemerintah (pasal 47 ayat 1) “Masyarakat sebagai mitra Pemerintah berkesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Sudah ada aturan tentang dewan pendidikan dan komite sekolah (pasal 56 ayat 1) “masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melaluidewan pendidikan dankomite sekolah/madrasah.”
Akreditasi
Belum ada aturan
Diatur dalam Bab XVI bagian kedua pasal 60 ayat 1, 2, 3, dan 4.
Sertifikasi
Belum ada aturan
Diatur dalam Bab XVI bagian ketiga pasal 61 ayat 1, 2, 3, dan 4.
Ketentuan pidana
Masih terbatas, hanya mengatur hukum pidana terkait dengan lulusan dan gelar akademik perguruan tinggi (pasal 55 dan 56)
Tidak hanya sebatas gelar akademik dan lulusan perguruan tinggi, tetapi juga menyangkut jiplakan karya ilmiah dan penyelenggara satuan pendidikan (pasal 67 – 71).
Kesetaraan
Belum ada ketentuan kesetaraan antara sekolah dengan madrasah
Madrasah setara dengan sekolah
Pengembangan kurikulum
Belum ada aturan tentang pengembangan kurikulum
Pengembangan kurikulum diatur dalam pasal 36 (pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan dan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bahaya Internet Bagi Remaja

  Bahaya Internet Bagi Remaja BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Internet saat ini sudah sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari...