1.Mengapa MBS perlu
diperkenalkan di Indonesia ?
2.Bagaimana penerapan
MBS di Indonesia ?
3.Indentifikasi dan
jelaskan landasan hukum penerapan MBS di Indonesia ?
4.Identifikasi
butir-butir perbedaan sisdiknas menurut UU No. 2 Thn 1998 dan UU No. 20 Thn.
2003 ?
1.
Karena pada dasarnya MBS merupakan suatu
strategi pengelolaan penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang menekankan pada
pengerahan dan pendayagunaan sumber internal sekolah dan lingkungannya secara
efektif dan efisien sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas dan bermutu.
2. Manajemen
berbasis sekolah (MBS) merupakan program nasional sebagaimana tercantum dalam
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 50 (1)
" Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan
prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah" MBS merupakan paradigma baru
pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dengan maksud agar
sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya
sesuai dengan prioritas kebutuhan sekolah. Dengan demikian tanggungjawab
pengelolaan pendidikan bukan hanya oleh pemerintah tapi juga oleh sekolah dan
masyarakat dalam rangka mendekatkan pengambilam keputusan ketingkat grassroots
(yang paling dekat dengan peserta didik) . Bagaimana Penerapannya di Indonesia?
Ada tiga pilar MBS yang dapat dijadikan patokan untuk menilai implementasi MBS
yang dilaksanakan oleh sekolah di Indonesia yaitu: Manajemen Sekolah,
Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan, dan Peran Serta
Masyarakat
-
Manajemen Sekolah
Penerapan manajemen sekolah pada umumnya
sudah dapat diterapkan dengan baik oleh sebagian sekolah terutama sekolah
sekolah perkotaan yang sudah memiliki SDM yang memadai baik secara kualifikasi
maupun kompetensi. Namun pada sisi lain masih banyak sekolah terutama kepala
sekolah belum dapat mengelola sekolahnya dengan baik misalnya dalam hal
berkomunikasi dan berkoodinasi dengan semua warga sekolah dan masyarakat.
Indikasinya terlihat masih banyak warga sekolah dan masyarakat yang tidak tahu
program sekolah dan penggunaan dana sekolah baik yang bersumber dari BOS untuk
SD dan SMP maupun dari komite (masyarakat) untuk SMA/SMK. Program sekolah dan
penggunaan dana tidak disosialisakan dengan transparan dan akuntabel. Sehingga
sering menimbulkan kecurigaan diantara warga sekolah. Sebagai dampaknya guru
dan staff serta masyarakat kurang antusias untuk mendukung program sekolah
Dalam hal peningkatan kualitas tenaga
pendidik dan kependidikan misalnya masih banyak kepala sekolah yang hanya
menunggu bila ada program pelatihan dari pemerintah. Semestinya peningkatan
kualitas tenaga pendidik dan kependidikan ini dapat dilakukan oleh sekolah
secara mandiri misalnya dengan memberdayakan rekan sejawat (guru, kepala
sekolah,dan pengawas sekolah) untuk saling berbagi. Dengan sering diadakannya
sharing antar teman sejawat diharapkan akan timbul semangat untuk berinovasi
dan berimprovisasi yang akan melahirkan kreatifitas.
-
Pembelajaran yang Aktif, Kreatif,
Efektif & Menyenangkan
Seiring dengan perkembangan teknologi
informasi dan kominikasi dewasa ini, warga sekolah terutama guru dan siswa akan
sangat terbantu dalam mengembangkan dan mengatasi permasalahan pembelajaran.
Setiap siswa memiliki minat, bakat dan kemampuan yang berbeda. Hal ini tidak
perlu dikhawatirkan karena berbagai metode pembelajaran sangat mudah diperoleh
melalui pemanfaatan ICT oleh guru dan siswa. Dalam proses pembelajaran ini
tentu saja siswa menjadi pusat perhatian atau pemeran utamanya dan guru menjadi
sutradaranya. Untuk mencapai pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan perlu usaha serius , karena dibutuhkan guru yang aktif dan kreatif
pula.
-
Peran Serta Masyarakat
Masyarakat adalah mitra sekolah yang
dapat diandalkan. Masyarakat terkait langsung dengan penyelenggaraan pendidikan
di sekolah, karena keberadaan sekolah ada di tengah-tengah masyarakat dan
menjadi tujuan masyarakat sekitar untuk menuntut ilmu. Sekolah dan masyarakat
harus selalu bersinergi untuk mewujudkan outcome sekolah yang berkualitas.
Dukungan masyarakat kepada sekolah hendaknya bukan hanya bersifat material tapi
juga dukungan moril seperti memberikan rasa aman kepada semua warga sekolah.
Memang kepala sekolah harus memiliki kompetensi social yang handal. Disamping
itu sekolah bisa dijadikan pusat informasi bagi masyarakat sekitar sekolah.
Informasi yang dimaksud adalah informasi yang bersifat umum bukan hanya
mengenai siswa tapi juga yang berkenaan dengan pemberdayaan sumber daya yang
ada di lingkungan masyarakat. Sekolah dapat menjadi trigger (pemicu) untuk
memajukan masyarakat sekitar sekolah. Dengan contoh langsung yang diberikan
sekolah biasanya masyarakat akan cepat meniru dan mempraktikkannya apalagi
sesuatu yang baru yang dapat memberikan nilai tambah bagi mereka. Masyarakat
dapat juga dilibatkan dalam program sekolah khususnya yang menyangkut life
skill.
Namun yang masih menjadi persoalan
adalah dukungan masyarakat belum optimal baik dalam hal prakarsa dan kontribusi
untuk mamajukan sekolah maupun memberikan rasa aman baik pada siswa maupun guru
yang mengajar di sekolah. Sebuah harian daerah pernah memberitakan ada guru
yang dirampok oleh pelaku yang juga masyarakat sekitar sekolah. Selain itu ada
usaha ternak ayam potong yang berdampingan dengan sekolah yang sangat mengganggu
proses pembelajaran di sekolah karena bau yang tidak sedap yang berasal dari
kotoran ayam tersebut, dan mungkin masih banyak lagi persoalan-persolan lain
yang dapat mengganggu kelancaran proses pembelajaran. Memang persoalan ini
sangat ruet dan kompleks, tetapi dengan tekad dan komitmen yang kuat antara
pihak sekolah, pemerintah, dan masyarakat sebagai sebuah system yang mempunyai
maksud yang sama untuk mencapai pendidikan yang berkualitas, maka MBS ini dapat
diterapkan dengan baik dan dihantarkan sampai ke tujuan.
3.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional pada bagian penjelasan pasal 51 ayat 1, “manajemen
berbasis sekolah atau madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada
satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah atau madrasah dan guru
dibantu oleh komite sekolah atau madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan”.
Definisi MBS diuraikan lebih rinci sebagai suatu pendekatan politik yang
bertujuan untuk melakukan redesain terhadap pengelolaan sekolah dengan
memberikan kekuasaan pada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa,
kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat (Fattah, 2004). MBS atau school
based management sendiri merupakan sebuah upaya adaptasi dari paradigma
pendidikan baru yang berasaskan desentralisasi. MBS memberikan otoritas pada
sekolah untuk mengembangkan prakarsa yang positif untuk kepentingan sekolah.
Dalam pelaksanaannya di lapangan, konsep MBS memiliki instrumen kunci yang
dikenal dengan nama Komite Sekolah. Tidak hanya itu, menurut Dr JC Tukiman
Taruna, seorang pakar pendidikan, implementasi MBS secara ideal mensyaratkan
beberapa hal yaitu (1) peningkatan kualitas manajemen sekolah yang terlihat
melalui transparansi keuangan, perencanaan partisipatif, dan tanggung-gugat
(akuntabilitas), (2) peningkatan pembelajaran melalui PAKEM (pembelajaran yang
aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan), dan (3) peningkatan peran serta
masyarakat melalui intensitas kepedulian masyarakat terhadap sekolah (Kusmanto,
2004). DASAR HUKUM Implementasi MBS pada tingkat satuan pendidikan bukan
sekedar luapan semangat desentralisasi yang berlebihan. MBS dilaksanakan semata
karena berlandaskan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
pasal 51 ayat 1, “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan
minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah”. Legalisasi
pelaksanaan MBS juga termuat dalam peraturan turunan undang-undang sistem
pendidikan nasional, yaitu dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional
pendidikan pasal 49 ayat 1, “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang
ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan
akuntabilitas”. Keberadaan Komite Sekolah sebagai instrumen kunci dalam
pelaksanaan MBS juga tertuang dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar
nasional pendidikan pasal 49 ayat 2, “Pengambilan keputusan pada satuan
pendidikan dasar dan menengah di bidang non-akademik dilakukan oleh komite
sekolah atau madrasah yang dihadiri oleh kepala satuan pendidikan”. Sementara
Lampiran Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang standar pengelolaan pendidikan
memuat secara lebih terperinci tentang (a) perencanaan program, (b) pelaksanaan
rencana kerja, (c) pengawasan dan evaluasi, (d) kepemimpinan sekolah atau
madrasah, (e) sistem informasi manajemen, dan (f) penilaian khusus.
4.
Jumlah bab dan pasal yang terkandung di
dalamnya, UU No. 2 tahun 1989 mempunyai 20 bab dan 59 pasal, sedangkan UU No.
20 tahun 2003 mempunyai 22 bab dan 77 pasal.
Tabel
Perbedaan UU No. 2 tahun 1989 dengan UU No. 20 tahun 2003
Perihal
|
UU No. 2 tahun 1989
|
UU No. 20 tahun 2003
|
Jumlah bab dan pasal
|
20 bab dan 59 pasal
|
22 bab dan 77 pasal
|
Fungsi pendidikan
nasional
|
Belum ada fungsi
untuk membentukwatak (karakter)peserta didik.
|
Sudah ada fungsi
untuk membentuk watak (karakter) peserta didik.
|
Jalur pendidikan
|
Hanya dua jalur
pendidikan, yaitu: jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah
|
Ada tiga jalur
pendidikan, yaitu: pendidikan formal, nonformal, dan informal.
|
Alokasi dana
pendidikan
|
Belum ada aturan
alokasi dana pendidikan dari APBN.
|
Dana pendidikan
selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20%
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). (pasal
49 ayat 1)
|
Badan hukum
pendidikan
|
Belum ada badan
hukum pendidikan.
|
Sudah ada badan
hukum pendidikan, sebagaimana tertuang pada pasal 53 bahwa “penyelenggara
dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau
masyarakat berbentukbadan hukum pendidikan”
|
Peran serta
masyarakat dalam pendidikan
|
Hanya sebatas mitra
pemerintah (pasal 47 ayat 1) “Masyarakat sebagai mitra Pemerintah
berkesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan
pendidikan nasional.”
|
Sudah ada aturan tentang
dewan pendidikan dan komite sekolah (pasal 56 ayat 1) “masyarakat berperan
dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan,
pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melaluidewan pendidikan dankomite
sekolah/madrasah.”
|
Akreditasi
|
Belum ada aturan
|
Diatur dalam Bab XVI
bagian kedua pasal 60 ayat 1, 2, 3, dan 4.
|
Sertifikasi
|
Belum ada aturan
|
Diatur dalam Bab XVI
bagian ketiga pasal 61 ayat 1, 2, 3, dan 4.
|
Ketentuan pidana
|
Masih terbatas,
hanya mengatur hukum pidana terkait dengan lulusan dan gelar akademik
perguruan tinggi (pasal 55 dan 56)
|
Tidak hanya sebatas
gelar akademik dan lulusan perguruan tinggi, tetapi juga menyangkut jiplakan
karya ilmiah dan penyelenggara satuan pendidikan (pasal 67 – 71).
|
Kesetaraan
|
Belum ada ketentuan
kesetaraan antara sekolah dengan madrasah
|
Madrasah setara
dengan sekolah
|
Pengembangan
kurikulum
|
Belum ada aturan
tentang pengembangan kurikulum
|
Pengembangan
kurikulum diatur dalam pasal 36 (pengembangan kurikulum dilakukan
dengan mengacu pada standar nasional pendidikan dan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta
didik).
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar